Pages
Tugas SEI downloaddisini
TERIMAKASIH ATAS KERJASAMANYA
PEMIMPIN BERMORAL YANG RAKYAT BUTUHKAN BIROKRASI BERETIKA YANG RAKYAT INGINKAN
1 komentar Diposting oleh Anas mustika di 21.56Anas Mustika
Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara
FISIP – Universitas Jenderal Soedirman
Email : anasmustika@yahoo.co.id
Suasana menjelang diselenggarakannya Pilkada Pemalang menghidupkan dinamika sosial politik rakyat Pemalang dan para birokrat sebagai “agen of change” dalam reformasi birokrasi. Siapakah yang selanjutnya akan menjadi orang nomor satu di Kabupaten Pemalang. Inilah pertanyaan yang timbul saat di selenggarakannya pilkada di Kabupaten Pemalang, ada rakyat yang berpendapat siapapun pemimpinnya yang penting ada amplop yang masuk ke saku, ada rakyat yang tidak mementingkan pemimpin “ora urusan bupatine sapa” itu kondisi yang ada di masyarakat pemalang tetapi ada juga rakyat yang menginginkan pemimpin itu harus jujur mempunyai etika dan moral yang baik.
Reformasi birokrasi merupakan proses yang berkesinambungan dan menyeluruh karena menyangkut perubahan sikap dan tingkah laku seluruh jajaran aparat pemerintah dari tingkat paling tinggi hingga tingkat pelaksana. Perubahan memang tidak mudah sebagaiman mudah diucapkan. Apalagi jika perubahan yang didengungkan berkaitan dengan kepentingan dan keuntungan yang telah didapat oleh penguasa. Sehingga timbul pertanyaan, mengapa sulit untuk reformasi birokrasi? Jawabannya sederhana itu karena sistem yang buruk, sistem yang dibangun dengan suap, korup dan nepotisme untuk keuntungan penguasa. Ada cerita menarik yang penulis pernah baca pada buku “Reformasi Birokrasi Amplop Mungkinkah?” oleh: Dwiyanto Indiahono.
Waktu memang selalu berjalan maju perubahan adalah suatu keniscayaan. Begitupun ketika reformasi berjalan di negeri sang menteri yang jadi “kaki tangan” pengusaha. Tampilan seorang menteri yang lulusan Amerika sebagai pemimpin baru di departemen tersebut dan menyerukan terjadinya sebuah perubahan. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang belum pernah ia lakukan dan temui ternyata sekarang berada di pelupuk mata. Tidak seperti: “gajah didepan mata tak tampak, debu di seberang lautan kelihatan”, sang menteri-baru tahu betul lapangan baru yang akan dihadapinya. Untuk itu ia mulai pasang kuda-kuda, ia tak akan mau terima suap dan mengambil uang dari kas negara untuk keuntungan diri sendiri. Untuk dirinya sendiri dia berhasil, namun tembok potongan anggaran-anggaran yang ada tak amampu ia elakan demi terlaksananya program. Semula ia bersikeras tidak mau mencairkan dana-dana yang dipotong, tapi apa daya bawahannya terus menerus “menasehati” untuk kebaikan departemen tersebut yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Potongan atau kepentingan orang banyak hilang! Ia takluk oleh sistem yang dibangun oleh sub-sub sistem yang lain, dan ia tau ia tetap merasa bersalah : setiap malam tiada waktu terindah buatnya kecuali meminta ampunan telah berbuat seperti itu untuk kebaikan “orang banyak”. Ia dicatat “bersih” oleh bawahannya.
Sang menteri yang di ceritakan diatas adalah gambaran bahwa perubahan tidak akan pernah bisa di lakukan oleh seorang pemimpin, perubahan membutuhkan dukungan banyak pihak yang berkaitan dan sisitem yang menjamin terjalinnya kinerja yang bersih.
Disinilah diperlukan bangunan moral. Bangunan moral menunjukan setiap manusia sadar bahwa kebaikan adalah ketika seseorang berada dalam kejujuran, berhati nurani dan untuk membangun kemanfaatan bersama. Ia dibangun lewat kesadaran pribadi yang hadir secara mandiri, spontan dan bersifat kekal. Ia tidak membutuhkan pengawasan yang bersifat fisik, ia akan sadar ketika ia bertanya kepada hatinya : “apakah perbuatan saya benar?”. Hatinya terpaut untuk memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya untuk rakyat dan warga Negara. Ia sadar bahwa rakyat memiliki hak yang sama untuk dihargai dan suaranya harus didengar.
Untuk itu saya sebagai warga Pemalang mengajak semua warga pemalang untuk memilih pemimpin yang bermoral dalam pemilihan kepala daerah nanti, moral inilah yang akan melahirkan suatu etika, dengan pemimpin yang bermoral diharapkan dapat menuntun sistem birokrasi yang mempunyai etika. Etika akan gagap ketika ia dibangun tidak berdasarkan moral, sebab ia akan tetap eksis dengan bantuan moral, etika yang ingin dicapai seperti: transparan, responsif, responsibel dan akuntabel hanya bisa direalisasikan dengan dukungan moral para aparatur pemerintah. Moral adalah cerminan orang-orang yang beragama, agama mengajarkan semua pemeluknya untuk selalu melakukan yang tebaik untuk diri sendiri dan orang lain, bersikap jujur karena senantiasa diawasi oleh Tuhan dan malu jika berbuat curang. Moral harus menjadi persyaratan utama dalam memilih seorang pemimpin. Karena seorang pemimpin bermoral yang rakyat butuhkan dan sistem birokrasi yang beretika yang rakyat inginkan.